Pandiran Baisukan RRI Pro 4 Banjarmasin “Relasi Al-Qur’an dan Masyarakat Banjar: Mencermati Fenomena Cocoklogi”
Banjarmasin, Jumat, 20 Desember 2024 – Fakultas Ushuluddin dan Humaniora bersama PRO4 RRI 87,7 & 99,6 FM menyelenggarakan acara Pandiran Baisukan bertema “Relasi Al-Qur’an dan Masyarakat Banjar: Mencermati Fenomena Cocoklogi”. Prof. Dr. H. Wardani, M.Ag, sebagai narasumber utama, bersama host Helda dan pendamping Ahmad Permana, membahas fenomena cocoklogi masyarakat Banjar terhadap Al-Qur’an.
Menurut Prof. Wardani, fenomena cocoklogi adalah praktik mencocokkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan fenomena atau keperluan masyarakat tanpa memahami konteks tafsirnya. Cocoklogi sering kali muncul di masyarakat tradisional, termasuk masyarakat Banjar, dalam bentuk penggunaan ayat untuk mantra atau doa seperti dalam berdagang, memancing, dan pengobatan. Praktik ini, meskipun mencerminkan kreativitas masyarakat, sering kali didasarkan pada bias konfirmasi dan pemahaman yang keliru terhadap Al-Qur’an.
Prof. Wardani menegaskan bahwa fenomena ini menunjukkan adanya hubungan erat antara Al-Qur’an dan budaya, di mana Al-Qur’an terkadang merombak, mengadopsi, atau menerima budaya dengan nilai-nilai transformasi. Namun, penting bagi masyarakat untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak terjadi penyalahgunaan makna ayat.
Dalam penutupnya, Prof. Wardani menyampaikan bahwa masyarakat Banjar, sebagai komunitas Muslim yang lekat dengan figur Tuan Guru, cenderung meminta solusi kepada guru atas berbagai permasalahan hidup. Tuan Guru inilah yang sering kali memperkenalkan praktik-praktik seperti cocoklogi, baik dalam bentuk doa, mantra, maupun penggunaan ayat Al-Qur’an untuk keperluan sehari-hari.
Beliau menegaskan bahwa fenomena cocoklogi memiliki dua dimensi, yaitu positif dan negatif. Di satu sisi, cocoklogi mencerminkan masyarakat yang berbudaya, di mana terdapat nilai kearifan lokal yang menunjukkan bagaimana Al-Qur’an dimaknai dalam kehidupan sehari-hari. Namun, di sisi lain, praktik ini perlu diarahkan agar lebih mendidik, sesuai dengan ajaran Islam yang benar. Prof. Wardani mengingatkan bahwa sebenarnya sudah ada tuntunan dari ulama, seperti melalui kajian fadā’ilul Qur’ān atau ṭibbun nabawi, yang dapat menjadi panduan bagi masyarakat.
Prof. Wardani juga menyoroti pentingnya menjaga kearifan lokal dalam memaknai Al-Qur’an di tengah masyarakat Banjar, agar nilai-nilai budaya tidak luntur. Namun, beliau juga menekankan perlunya harmonisasi antara budaya lokal dan nilai-nilai global. Budaya yang berakar pada nilai Al-Qur’an harus diarahkan untuk membangun masyarakat Qur’ani yang otentik, baik dalam aspek keagamaan maupun kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh, pengobatan dengan ayat Al-Qur’an dapat dilakukan dengan metode yang tepat, didasarkan pada ilmu tafsir yang benar, atau dengan pendekatan ṭibbun nabawi yang sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad SAW. Harapannya, tradisi berbudaya dengan Al-Qur’an tetap terjaga, sambil terus meningkatkan kualitas pemahaman masyarakat terhadap kitab suci tersebut.